Cinta
bukanlah sebatas kata yang bisa dituliskan, melainkan cinta ialah suatu
perasaan yang Allah tanamkan pada hati hamba-Nya. Rasa cinta akan terpancar
dari hati ketika berhadapan dengan sesuatu yang indah. Pun sebaliknya, hati
kita akan memendam cinta itu ketika terbentur sesuatu yang buruk. Seperti
itulah tabiat hati, raja dalam diri manusia.
Boleh
jadi setiap insan mendefinisikan makna cinta sejati dengan arti yang beragam,
tetapi bagi kita cinta sejati adalah kecintaan pada seseorang karena
ketakwaannya. Ialah suatu hubungan halal yang berfondasi cinta karena Allah
semata, sekali pun itu ukhuwah persahabatan. Saling mencintai dalam taat dan
tak keluar dari batasan yang Allah tetapkan.
Allah telah
berpesan kepada umat Islam agar berlomba-lomba dalam kebaikan, Dia berfirman,
“Maka berlomba-lombalah kalian (dalam berbuat) kebaikan”.[1]
Bergegaslah kita mengikuti perlombaan dalam kebaikan, salah satunya perlombaan
cinta. Berlomba untuk menyalurkan cinta dan sayang kita dengan kebaikan-kebaikan
terhadap sahabat kita.
Sudahkah
Allah menganugerahkan sahabat terbaik untuk kita? Mari kita lihat, adakah di
belahan bumi yang lain manusia bagaikan gunung yang kokoh? Bersahabat dengannya
merupakan kemuliaan, menemaninya menjadi sebuah garansi, berkomunikasi dengan
dia seakan suatu keharusan karena selalu mengandung kebaikan. Mustahil bagi
kita melupakannya-dengan izin Allah-, sebab dialah yang rela mendukung kita
dalam baik dan menegur ketika salah.
Bersyukurlah
jika Allah telah menanamkan cinta kita pada sosok sahabat yang baik, tutur
katanya memancarkan keteduhan, tingkah lakunya mengajarkan arti ketaatan.
Bersyukurlah, dan jangan biarkan dia pergi menjauh. Saatnya untuk kita
mewujudkan bentuk syukur dengan cara mencintainya lebih dari dia mencintai
kita.
Anggap saja
kita sedang berada di arena perlombaan, ketika dia mencintai kita maka berilah
rasa sayang yang lebih untuknya. Jika dia berbuat satu kebaikan untuk kita, kalahkan
dia dengan memberinya dua kebaikan atau lebih. Ketika satu kali ia mengulurkan
bantuan untuk kita, bantulah ia dengan jumlah yang lebih besar. Mengapa? Karena
kita sedang berlomba menjadi yang lebih baik di atas cinta karena-Nya. Namun,
ingat bahwa semua itu sia-sia jika manusia yang menjadi harapan kita, bergerak
dan lakukanlah demi mengharap rida-Nya.
Dalam sebuah
hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ
pernah memberikan motivasi tentang hal ini, beliau ﷺ
bersabda:
خَيرُالأصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُم لِصَاحِبِهِ وَخَيرُ الجِيرَان
عِندَ اللهِ خَيرُهُم لِجَارِهِ
“Sebaik-baik
sahabat di sisi Allah adalah yang lebih baik bagi sahabatnya dan sebaik-baik
tetangga di sisi Allah adalah yang lebih baik bagi tetangganya.”[2]
Mendengar
kabar baik ini seketika kita berpikir bahwa tak ada perkara yang dibiarkan
begitu saja dalam agama kita. Ketika kita diperintahkan memiliki seorang
sahabat saleh, bersama dengan itu pula kita disuguhkan motivasi untuk menjadi
sosok yang lebih baik dari sahabat kita.
Ketulusan
cinta karena Allah mampu mempererat tali persahabatan, meningkatkan prestasi
keimanan, melupakan perselisihan, dan menghargai perbedaan. Dengan rasa cinta
itu pula kita akan bersemangat menyalurkan kebaikan untuk sahabat kita tanpa
rasa berat hati dan tanpa rasa ingin dipuji. Tidak, kita tidak butuh pujian
darinya, kita hanya membutuhkan ketulusan hatinya dalam menjalani persahabatan
dengan kita.
Dahulu
ada seseorang yang merasa sedang mencintai salah satu teman yang dianggap baik
amalannya, lantas dia menyampaikan hal tersebut kepada Umar bin Khattab
radhiallahu ‘anhu. Umar justru melontarkan pertanyaan apakah dia pernah pergi
bersafar bersama temannya itu? Ternyata orang itu belum pernah bersafar
bersama, maka umar memintanya agar meniti safar bersama.
Ada
apa dengan melakukan safar bersama? Kita tahu bahwa sebuah perjalanan-terutama
pada zaman dahulu-membutuhkan perbekalan yang cukup serta kesabaran. Sahabat
yang baik tidak akan bakhil ketika kita bersafar bersama, bisa jadi saat kita
ingin mengeluarkan sepeser uang untuk membeli makanan, sahabat kita justru
lebih awal untuk melakukannya. Ketika kita merasa jenuh dengan perjalanan
panjang, ia akan senantiasa menghibur kita dan mengingatkan hal positif tentang
bersabar.
Maka
dengan begitu akan tampak loyalitasnya, akan tampak seberapa besar ketulusan
hatinya selama berdampingan dengan kita. Benar, bukan?
Sebelum kita
mengharapkan semua itu dari sahabat kita, alangkah baiknya kita yang terlebih
dahulu melakukannya. Jadilah kita seorang sahabat yang bergegas memberi
kebaikan untuk dirinya, rela mengeluarkan harta, mudah berbagi, dan tidak
bersikap perhitungan. Karena sesungguhnya kita sedang dalam perlombaan untuk
memberikan sesuatu yang “lebih” bagi sahabat kita.
Persahabatan
bukan tentang seberapa banyak kita bahagia bersama, cinta karena Allah terhadap
sahabat tidak sebatas melontarkannya dengan untaian kalimat indah. Sejatinya
persahabatan itu akan lebih terasa ketulusannya setelah kita melalui suka
begitu pun duka bersama-sama.
Boleh jadi
dalam bersahabat banyak batu yang menghalangi lurusnya perjalanan cinta,
masalah demi masalah silih berganti seiring terbit dan tenggelamnya mentari. Bahkan
Imam syafi’i rahimahullah menegaskan tidak ada persahabatan tanpa adanya
masalah yang menghampiri. Namun, kita mengingat, persahabatan akan semakin erat
dengan mengalahkan masalah yang ada bersama-sama dengan penyelesaian yang bijak
berlandaskan cinta.
Jika kau
sudah memiliki seorang sahabat dan telah bersama menanam bibit kecintaan karena
Allah, bersama pula ingin menuai hasil berupa naungan kelak di hari akhir,
selamat berlomba. Dan selamat berjuang lillah untuk menjadi yang lebih
baik, lebih banyak memberikan kasih sayang, serta lebih bersungguh-sungguh dalam
ketulusan sayang dan cinta karena Allah. Because since then you’ve been in a
true race of love.
Komentar
Posting Komentar